-->

LAPORAN PENDAHULUAN CRONIK KIDNEY DEASES (CKD) CAUSE HIPERTENSI

LAPORAN PENDAHULUAN
CRONIK KIDNEY DEASES (CKD) CAUSE HIPERTENSI


KONSEP CRONIC KIDNEY DEASES (CKD)

PENGERTIAN :
Cronik Kidney Deases (CKD) adalah penurunan faal/fungsi ginjal yang menahun yang umumnya irreversible dan cukup lanjut (Suparman, 1990).

Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).  (Brunner & Suddarth,  2001; 1448).

Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price,  1992; 812).

Sesuai dengan topik yang saya tulis didepan cronic kidney disease (CKD), pada dasarnya pengelolaan tidak jauh beda dengan cronoic renal failure (CRF),  namun pada terminologi akhir CKD lebih baik dalam rangka untuk membatasi kelainan klien pada kasus secara dini,  kerena dengan CKD dibagi 5 grade,  dengan harapan klien datang/merasa masih dalam stage – stage awal yaitu 1 dan 2. secara konsep CKD, untuk menentukan derajat (stage) menggunakan terminology CCT (clearance creatinin test) dengan rumus stage 1 sampai stage 5. sedangkan CRF (cronic renal failure) hanya 3 stage. Secara umum ditentukan klien datang dengan derajat 2 dan 3 atau datang dengan terminal stage bila menggunakan istilah CRF.

KLASIFIKASI :

Klasifikasi CKD berdasarkan tingkat LFG, yaitu :
Stadium I : Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminuria persisten dan LFG nya yang masih normal yaitu > 90 ml/menit/1,72 m3
Stadium II : Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG antara 60-89 ml/menit/1,73 m3
Stadium III : Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 ml/menit/1,73 m3
Stadium IV : Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 ml/menit/1,73 m3
Stadium V : Kelainan ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m3

ETIOLOGI :
Salah satu penyebab daripenyakit cronic kidney deases adalah penyakit metabolik yaitu hipertensi. Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg

PATOFISIOLOGI :
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk berfungsi sampai ¾ dari nefron–nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diuresis osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80% - 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15 ml/menit atau lebih rendah itu. (Barbara C Long, 1996, 368).

Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah dialisis. (Brunner & Suddarth, 2001 : 1448).

TANDA DAN GEJALA :
Hematologic : Anemia, gangguan fungsi trombosit, trombositopnia, gangguan leukosit.
Gastrointestina : Anoreksia, nausea, vomiting, gastritis erosive
Syaraf dan otot : Miopati, ensefalopati metabolic, kelemahan otot.
Kulit : Berwarna pucat, gatal-gatal dengan ekssoriasi, echymosis, urea frost, bekas garukan karena gatal.
Kardiovaskuler : Hipertensi, nyeri dada dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema.
Endokrin : Gangguan toleransi glukosa, gangguan metabolism lemak, fertilisasi dan ereksi menurun pada laki-laki, gangguan metabolisme vitamin D.

KOMPLIKASI : (1) Hiperkalemia : akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diit berlebih. (2) Perikarditis : Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat. (3) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-angiotensin-aldosteron. (4) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah.                   (5) Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah, metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium. (6) Asidosis metabolic, Osteodistropi ginjal & Sepsis, Neuropati perifer, Hiperuremia.

MANIFESTASI KLINIS :
Manifestasi klinik  antara lain (Long,  1996 : 369) : (1) Gejala dini : lethargi,  sakit kepala,  kelelahan fisik dan mental,  berat badan berkurang,  mudah tersinggung,  depresi. (2) Gejala yang lebih lanjut : anoreksia,  mual disertai muntah,  nafas dangkal atau sesak nafas baik waktui ada kegiatan atau tidak,  udem yang disertai lekukan,  pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.

Manifestasi klinik menurut (Smeltzer,  2001 : 1449) antara lain : hipertensi,  (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas sisyem renin -  angiotensin – aldosteron),  gagal jantung kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik,  pruritis,  anoreksia,  mual,  muntah,  dan cegukan,  kedutan otot,  kejang,  perubahan tingkat kesadaran,  tidak mampu berkonsentrasi).

Manifestasi klinik menurut Suyono (2001) adalah sebagai berikut:                 (1) Gangguan kardiovaskular : Hipertensi,  nyeri dada,  dan sesak nafas akibat perikarditis,  effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan,  gangguan irama jantung dan edema. (2) Gangguan Pulmoner : Nafas dangkal,  kussmaul,  batuk dengan sputum kental dan riak,  suara krekels. (3) Gangguan  gastrointestinal : Anoreksia,  nausea,  dan fomitus yang berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus,  perdarahan pada saluran gastrointestinal,  ulserasi dan perdarahan mulut,  nafas bau ammonia. (4) Gangguan  muskuloskeletal : Resiles leg sindrom (pegal pada kakinya sehingga selalu digerakan),  burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar,  terutama ditelapak kaki),  tremor,  miopati (kelemahan dan hipertropi otot – otot ekstremitas.  (5) Gangguan Integumen : kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning – kuningan akibat penimbunan urokrom,  gatal – gatal akibat toksik,  kuku tipis dan rapuh. (6) Gangguan endokrim : Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun,  gangguan menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa,  gangguan metabolic lemak dan vitamin D. (7) Gangguan cairan : elektrolit dan keseimbangan asam dan basa biasanya retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan dehidrasi,  asidosis,  hiperkalemia,  hipomagnesemia,  hipokalsemia. (8) System hematologi anemia yang disebabkan karena berkurangnya produksi eritopoetin,  sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik,  dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis dan trombositopeni.

PEMERIKSAAN PENUNJANG : (1) Radiologi (foto polos abdomen)       : besar ginjal; apakah ada batu ginjal atau obstruksi. (2) Pielografi intravena (PIV) : menilai sitem pelviokalises. (3) Ultrasonografi (USG) : menilai besar, bentuk ginjal, kandung kemih, serta prostat. (4) Renogram : menilai fungsi ginjal kiri dan kanan. (5) Pemeriksaan radiologi jantung : mencari apakah ada kardiomegali, efusi pericardial. (6) Pemeriksaan radiologi tulang : mencari oesteodistrofi, metastasis. (7) Pemeriksaan radiologi paru : mencari uremik lung. (8) Pemeriksaan pielografi retergrad : bila dicurigai obstruksi yang reversible. (9) Elektrokardiograf : untuk melihat hipertrofi ventrikel kiri. (10) Biopsy ginjal. (11) Pemeriksaan lab, LED, anemia, ureum dan kreatinin meningkat, hemoglobin, hiponatremia, hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia, peningkatan gula darah, asidosis metabolok, HCo2 menurun, BE menurun, dan PaCo2 menurun.

PENATALAKSANAAN MEDIS & KEPERAWATAN
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin.

Intervensi diit. Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis (produk susu, telur, daging) di mana makanan tersebut dapat mensuplai asam amino untuk perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-600 ml/24 jam. Kalori untuk mencegah kelemahan dari KH dan lemak. Pemberian vitamin juga penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin larut air melalui darah sewaktu dialisa.

Hipertensi ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume intravaskule. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobitamine dan dialisis. Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin diperlukan untuk mengoreksi asidosis.

Anemia pada CKD ditangani dengan epogen (erytropoitin manusia rekombinan). Anemia pada pasaien (Hmt < 30%) muncul tanpa gejala spesifik seperti malaise, keletihan umum dan penurunan toleransi aktivitas. Abnormalitas neurologi dapat terjadi seperti kedutan, sakit kepala, dellirium atau aktivitas kejang. Pasien dilindungi dari kejang.

Pada prinsipnya penatalaksanaan Terdiri dari tiga tahap : (1) Penatalaksanaan konservatif : Pengaturan diet protein, kalium, natrium, cairan. (2) Terapi simptomatik : Suplemen alkali, transfusi, obat-obat local & sistemik, anti hipertensi. (3) Terapi pengganti : HD, CAPD, transplantasi

PENATALAKSANAAN MEDIS
Dilakukan tindakan CAPD dengan insersi catheter dengan peritoneuscope yaitu :

Persiapan: dipuasakan 4 jam, H-1 operasi pasien harus defekasi dan bila obstipasi diberi dulcolax, pagi hari sebelum operasi dipasang iv, pasien di cukur rambutnya di kulit abdomen, dan sebelum berangkat ke ruangan tindakan pasien harus mengosongkan kandung kemih atau dipasang folley catheter.

Prosedur operasi :
Posisi trendelenberg : (1) Buat marker di abdomen, desinfeksi dinding abdomen, anetesi daerah insisi dengan lidocaine 1%, kemudian insisi kulit sepanjang 3 cm. (2) Jaringan lemak dibuka tumpul sampai terlihat fascia external, sambil pasien menahan nafas masukan quill guide assembly posisi 30 derajat kearah coccyx sampai menembus peritoneum. (3) Tarik trocar, masukan air menggunakan syrine, cek meniscus dan pergerakan air sesuai nafas. (4) Hubungkan dengan selang insuflaor, masukan udara sebanyak 1000-1500 ke dalam abdomen. (5) Setelah insuflator dilepas masukan scope lewat canula, arahkan ke rongga pelvic pastikan ada space dan tidak ada adhesi pada pelvic, pertahankan posisi quill dengan clem artei. (6) Canula dilepas dengan gerakan pelan berputar, masukan dilator kecil dan besar setelah sebelumnya dilubrikasi dengan lignocain gel. Buat gerakan maju mundur, dilator besar dipertahankan sambil mempersiapkan teckoff catheter dimasukan lewat stylet. (7) Catheter dilepas, pasang cuff implanter. Pasien menahan adinding abdomen dan implanter di dorong sampai cuff menembus fascia. Stylet dan quill ditarik. (8) Kateter di test. Dibuat marker tempat exite site, dilakukan anestesi sepanjang daerah tunnel, tunneler dimasukan dan exite site menuju daerah insisi lalu kateter disambungkan menuju tunneler. Kateter dan tunneler ditarik melewati exite site dan disambung dengan extension catheter, posisi exite site 2 cm dari kulit. (9) Luka insisi di jahit. (10) Operasi selesai

Penatalaksanaan keperawatan : (1) Tentukan tatalaksana terhadap penyebab CKD. (2) Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam(3) Diet tinggi kalori rendah protein. (4) Kendalikan hipertensi. (5) Jaga keseimbangan elektrolit. (6) Mencega dan tatalaksana penyakit tulang akibat CKD. (7) Deteksi dini terhadap komplikasi. (8) Kolaborasi dalam tindakan CAPD

KONSEP HEMODIALISA
Pengertian
Hemodialisis adalah bentuk dialysis yang menggunakan mesin (alat dialysis ginjal) untuk membuang kelebihan cairan, bahan kimia dan produk sisa dari darah. (Litin, 2009). Hemodialysis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal akut, gagal ginjal kronis, dan gagal ginjal terminal melalui mesin. Hemodialysis termasuk jenis membran dialysis selain cangkok ginjal. Kelebihan dengan hemodialysis adalah pasien hanya datang ke rumah sakit minimal 2 kali perminggu sedangkan cangkok ginjal hanya dapat digantikan dengan ginjal asli yang diberikan oleh donor ginjal. (Rizal, 2011).

Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tingkat tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membrane semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa hemodialisa adalah suatu terapi pengganti ginjal yang menggunakan mesin ginjal buatan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dalam tubuh.

TUJUAN HEMODIALISA : Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa mempunyai tujuan : (1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat. (2) Membuang kelebihan air. (3) Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh. (4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh. (5) Memperbaiki status kesehatan penderita.

PROSES HEMODIALISA
Mekanisme proses pada mesin hemodialisa, darah dipompa dari tubuh masuk ke dalam mesin dialysis lalu dibersihkan pada dialyzer (ginjal buatan), lalu darah pasien yang sudah bersih dipompakan kembali ke tubuh pasien.

Mesin dialysis yang paling baru telah dilengkapi oleh sistem komputerisasi dan secara terus menerus memonitor array safty-critical parameter, mencangkup laju alir darah dan dialysate, tekanan darah, tingkat detak jantung, daya konduksi, pH dan lain-lain. Bila ada yang tidak normal, alarm akan berbunyi. Dalam hemodialysis memerlukan akses vascular (pembuluh darah) hemodialysis (AVH) yang cukup baik agar dapat diperoleh aliran darah yang cukup besar, yaitu diperlukan kecepatan darah sebesar 200 – 300 ml/menit secara kontinu selama hemodialysis 4 – 5 jam.

AVH dapat berupa kateter yang dipasang di pembuluh darah vena di leher atau paha yang bersifat temporer. Untuk yang permanen dibuat hubungan antara arteri dan vena, biasanya di lengan bawah disebut arteriovenous fistula, lebih populer bila disebut (brescia) cimino fistula. Kemudian darah dari tubuh pasien masuk ke dalam sirkulasi darah mesin hemodialysis yang terdiri dari selang inlet/arterial (ke mesin) dan selang outlet/venous (dari mesin ke tubuh), kedua ujungnya disambung ke jarum dan kanula yang ditusuk ke pembuluh darah pasien. Darah setelah melalui selang inlet masuk ke dialisar. Jumlah darah yang menempati sirkulasi darah di mesin berkisar 200 ml. Dalam dialiser darah dibersihkan, sampah-sampah secara kontinu menembus membran dan menyeberang ke kompartemen dialisat, di pihak lain cairan dialisat mengalir dalam mesin hemodialysis dengan kecepatan 500 ml/menit masuk ke dalam dialiser pada kompartemen dialisat. Cairan dialisat merupakan cairan yang pekat dengan bahan utama elektrolit dan glukosa, cairan ini dipompa masuk ke mesin sambil dicampur dengan air bersih yang telah mengalami proses pembersihan yang rumit (water treatment). Selama proses hemodialysis, darah pasien diberi heparin agar tidak membeku bila berada di luar tubuh yaitu dalam sirkulasi darah mesin.

Prinsip hemodialysis sama seperti metode dialysis. Melibatkan difusi zat terlarut ke sembarang suatu selaput semi permeable. Prinsip pemisahan menggunakan membran ini terjadi pada dialyzer. Darah yang mengandung sisa-sisa metabolisme dengan konsentrasi yang tinggi dilewatkan pada membran semi permeabel yang terdapat dalam dialyzer, dimana dalam dialyzer tersebut dialirkan dialysate dengan arah yang berlawanan (counter current).

Driving force yang digunakan adalah perbedaan konsentrasi zat yang terlarut berupa racun seperti partikel-parttikel kecil, seperti urea, kalium, asam urea, fosfat dan kelebihan khlorida pada darah dan dialysate. Semakin besar konsentrasi racun tersebut di dalam darah dan dialisat maka proses difusi semakin cepat. Berlawanan dengan peritoneal dialysis, dimana pengangkutan adalah antar kompartemen cairan yang statis, hemodialysis bersandar pada pengangkutan konvektif dan menggunakan konter mengalir, dimana bila dialysate mengalir ke dalam berlawanan arah dengan mengalir axtracorporeal sirkuit. Metode ini dapat meningkatkan efektivitas dialysis.

Dialysate yang digunakan adalah larutan ion mineral yang sudah disterilkan, urea dan sisa metabolisme lainnya, seperti kalium dan fosfat, berdifusi ke dalam dialysate. Selain itu untuk memisahkan yang terlarut dalam darah digunakan prinsip ultrafiltrasi. Driving force yang digunakan pada ultrafiltrasi ini adalah perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dan dialyzer. Tekanan darah yang lebih tinggi dari dialyzer memaksa air melewati membran. Jika tekanan dari dialyzer diturunkan maka kecepatan ultrafiltrasi air dan darah akan meningkat.

Jika kedua proses ini digabungkan, maka akan didapatkan darah yang bersih setelah dilewatkan melalui dialyzer. Prinsip inilah yang digunakan pada mesin hemodialysis modern, sehingga keefektifannya dalam menggantikan peran ginjal sangat tinggi. (Rizal, 2011).

ALASAN DILAKUKAN HEMODIALISA :
Hemodialisa dilakukan jika gagal ginjal menyebabkan : (1) Kelainan fungsi otak (ensefalopati uremik). (2) Perikarditis (peradangan kantong jantung). (3) Asidosis (peningkatan keasaman darah) yang tidak memberikan respon terhadap pengobatanGagal jantung. (4) Hiperkalemia (kadar kalium yang sangat tinggi dalam darah)

FREKUENSI HEMODIALISA
Frekuensi, tergantung kepada banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, tetapi sebagian besar penderita menjalani dialisa sebanyak 3 kali/Minggu.  Program dialisa dikatakan berhasil jika : (1) Penderita kembali menjalani hidup normal. (2) Penderita kembali menjalani diet yang normal. (3) Jumlah sel darah merah sulit di toleransi. (4) Tekanan darah normal. (5) Tidak terdapat kerusakan saraf yang progresif. (6) Dialisa bisa digunakan sebagai pengobatan jangka panjang untuk gagal ginjal kronis atau sebagai pengobatan sementara sebelum penderita menjalani pencangkokan ginjal. Pada gagal ginjal akut, dialisa dilakukan hanya selama beberapa hari atau beberapa Minggu, sampai fungsi ginjal kembali normal.

KOMPLIKASI HEMODIALISA :
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain : (1) Kram otot : Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi. (2) Hipotensi : Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialysate natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan tambahan cairan. (3) Aritmia : Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium, magnesium, kalium dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa. (4) Sindrom ketidakseimbangan dialisa : Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradient osmotic diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradient osmotic ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan edema serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat. (5) Hipoksemia : Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar. (6) Perdarahan : Uremia menyebabkan gangguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga merupakan faktor resiko terjadinya perdarahan. (7) Gangguan pencernaan : Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan karena hipoglikemi. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler. (8) Pembekuan darah : Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak sesuai ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

KOMPLIKASI NYERI DADA AKIBAT HEMODIALISA PADA PASIEN DENGAN CKD

Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Akibt dari penurunan GFR, maka klirens kretinin akan menurun, kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan meningkat. Gangguan klirens renal adalah masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glumeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens (substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal). Ginjal kehilangan kemampuan untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal yang mengakibatkan terjadinya retensi cairan dan natrium. Ginjal tidak mampu membuang limbah sehingga hasil metabolisme dan zat toksik kembali ke peredaran darah dan produksi substansi tertimbun dalam darah dan mengakibatkan sindrom uremik. Terjadi penahanan cairan dan natrium dapat meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.

Dilakukan dialysis untuk menggantikan fungsi ginjal dalam menetralisir elektrolit dan cairan dalam tubuh. Penggunaan larutan dialisat asetat sebagai dialisat standart untuk mengoreksi asidosis uremikum yang dan untuk mengimbangi kehilangan bikarbonat secara difusi selama HD. Salah satu komplikasi yang ditimbulkan dar proses hemodialisa adalah munculnya nyeri ada akibat adanya ultrafiltrasi yang cepat dan volume tinggi dapat menyebabkan penarikan cairan yang berlebihan dan cepat ke dalam dialiser sehingga menyebabkan penurunan volume cairan, penurunan PCO2, elektrolit dalam tubuh yang bersama dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh dapat mengakibatkan hipovolemik dan dapat terjadi nyeri dada pada psien dengan CKD.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Biodata : Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda, dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
Keluhan utama : Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada kulit.

Riwayat penyakit : (1) Sekarang : Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik. (2) Dahulu : Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia, prostatektomi. (3) Keluarga : Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).

Tanda vital : Peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas cepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea.

Pemeriksaan Fisik :
Pernafasan (B 1 : Breathing) : (1) Gejala: Nafas pendek, dispnoe nokturnal, paroksismal, batuk dengan/tanpa sputum, kental dan banyak. (2) Tanda : Takhipnoe, dispnoe, peningkatan frekuensi, Batuk produktif dengan / tanpa sputum.

Cardiovascular (B 2 : Bleeding) : (1) Gejala : Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi nyeri dada atau angina dan sesak nafas, gangguan irama jantung, edema. (2) Tanda : Hipertensi, nadi kuat, oedema jaringan umum, piting pada kaki, telapak tangan, Disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi ortostatik, friction rub perikardial, pucat, kulit coklat kehijauan, kuning.kecendrungan perdarahan.

Persyarafan (B 3 : Brain) : Kesadaran: Disorioentasi, gelisah, apatis, letargi, somnolent sampai koma.

Perkemihan-Eliminasi Uri (B 4 : Bladder) (1) Gejala: Penurunan frekuensi urine (Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing), oliguria, anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi. (2) Tanda : Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.

Pencernaan - Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel) : Anoreksia, nausea, vomiting, fektor uremicum, hiccup, gastritis erosiva dan Diare


Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone) : (1) Gejala : Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, (memburuk saat malam hari), kulit gatal, ada/berulangnya infeksi. (2) Tanda : Pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), ptekie, area ekimoosis pada kulit, fraktur tulang, defosit fosfat kalsium,pada kulit, jaringan lunak, sendi keterbatasan gerak sendi.

Pola aktivitas sehari-hari
(1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat : Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tata laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.

(2) Pola nutrisi dan metabolisme : Anoreksia, mual, muntah dan rasa pahit pada rongga mulut, intake minum yang kurang. dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan klien. Peningkatan berat badan cepat (oedema) penurunan berat badan (malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual muntah, bau mulut (amonia), Penggunaan diuretic, Gangguan status mental, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh.

Pola Eliminasi : Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat, tidak dapat kencing. Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine, (pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.

Pola tidur dan Istirahat : Gelisah, cemas, gangguan tidur.

Pola Aktivitas dan latihan : Klien mudah mengalami kelelahan dan lemas menyebabkan klien tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara maksimal, Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.

Pola hubungan dan peran : Kesulitan menentukan kondisi. (tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran).

Pola sensori dan kognitif : Klien dengan gagal ginjal kronik cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma. Klien mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak, klien mengalami disorientasi/ tidak.

Pola persepsi dan konsep diri : Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita mengalami gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).

Pola seksual dan reproduksi : Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual, gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme. Penurunan libido, amenorea, infertilitas.

Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping : Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan klien tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif / adaptif. Faktor stress, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan. Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan kepribadian.

Pola tata nilai dan kepercayaan : Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta gagal ginjal kronik dapat menghambat klien dalam melaksanakan ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah klien

Diagnosa Keperawatan
Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah: (1) Penurunan curah jantung . (2) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. (3) Perubahan nutrisi . (4) Perubahan pola nafas. (5) Gangguan perfusi jaringan. (6) Intoleransi aktivitas. (7) Kurang pengetahuan tentang tindakan medis

Intervensi Keperawatan

Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat :
(1) Tujuan :  Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil : mempertahankan curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
(2) Intervensi :  (1) Auskultasi bunyi jantung dan paru. R : Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur. (2) Kaji adanya hipertensi. R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal). (3) Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala 0-10). R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri. (4) Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas. R : Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia.

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na dan H2O).
(1) Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output.
(2) Intervensi: (1) Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital. Batasi masukan cairan. R : Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan respon terhadap terapi. (2) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan. R : Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan. (3) Anjurkan pasien/ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan terutama pemasukan dan haluaran. R : Untuk mengetahui keseimbangan input dan output.

Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah.
(1) Tujuan : Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria hasil: menunjukkan BB stabil.
(2) Intervensi : (1) Awasi konsumsi makanan/cairan. R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi. (2) Perhatikan adanya mual dan muntah. R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi. (3) Berikan makanan sedikit tapi sering. R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan. (4) Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan. R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial. (5) Berikan perawatan mulut sering. R : Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan

Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi melalui alkalosis respiratorik.
(1) Tujuan: Pola nafas kembali normal/stabil
(2) Intervensi : (1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles. R: Menyatakan adanya pengumpulan secret. (2) Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam. R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2. (3) Atur posisi senyaman mungkin. R: Mencegah terjadinya sesak nafas. (4) Batasi untuk beraktivitas . R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau hipoksia

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pruritis.
(1) Tujuan : Integritas kulit dapat terjaga dengan kriteria hasil : Mempertahankan kulit utuh, Menunjukkan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit.
(2) Intervensi :  (1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskuler, perhatikan kadanya kemerahan. R: Menandakan area sirkulasi buruk atau kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan dekubitus/infeksi. (2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa. R: Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan. (3) Inspeksi area tergantung terhadap udem. (4) R : Jaringan udem lebih cenderung rusak/robek. (5) Ubah posisi sesering mungkin. R: Menurunkan tekanan pada udem , jaringan dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia. (6) Berikan perawatan kulit. R: Mengurangi pengeringan , robekan kulit. (7) Pertahankan linen kering. R: Menurunkan iritasi dermal dan risiko kerusakan kulit. (8) Anjurkan pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan pada area pruritis. R: Menghilangkan ketidaknyamanan dan menurunkan risiko cedera. (9) Anjurkan memakai pakaian katun longgar. R: Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, keletihan.
(1) Tujuan : dapat menoleransi aktivitas & melakukan ADL dgn baik dengan criteria Kriteria Hasil: Berpartisipasi dalam aktivitas fisik dgn TD, HR, RR yang sesuai, Warna kulit normal,hangat & kering, Memverbalisasikan pentingnya aktivitas secara bertahap, Mengekspresikan pengertian pentingnya keseimbangan latihan & istirahat, Meningkatkan toleransi aktivitas.
(2) Intervensi  : (1) Tentukan penyebab intoleransi aktivitas & tentukan apakah penyebab dari fisik, psikis/motivasi. (2) Kaji kesesuaian aktivitas & istirahat klien sehari-hari. (3) Tingkatkan aktivitas secara bertahap, biarkan klien berpartisipasi dapat perubahan posisi, berpindah & perawatan diri. (4) Pastikan klien mengubah posisi secara bertahap. Monitor gejala intoleransi aktivitas. (5) Ketika membantu klien berdiri, observasi gejala intoleransi seperti  mual, pucat, pusing, gangguan kesadaran & tanda vital. (6) Lakukan latihan ROM jika klien tidak dapat menoleransi aktivitas
Kurang pengetahuan tentang  kondisi, prognosis dan tindakan medis (hemodialisa) berhubungan salah interpretasi informasi.
(1) Tujuan : Pengetahuan klien/keluarga meningkat dengan kriteria hasil :  Pasien mampu: Menjelaskan kembali penjelasan yang diberikan, Mengenal kebutuhan perawatan dan pengobatan tanpa cemas, Klien / keluarga kooperatif saat dilakukan tindakan

(2) Intervensi  : (1) Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya, (2) Jelaskan tentang proses penyakit (tanda dan gejala), identifikasi kemungkinan penyebab. (3) Jelaskan kondisi klien. (4) Jelaskan tentang program pengobatan dan alternatif pengobantan. (5) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin digunakan untuk  mencegah komplikasi. (6) Diskusikan tentang terapi dan pilihannya. (7) Eksplorasi kemungkinan sumber yang bisa digunakan/ mendukung. (8) Instruksikan kapan harus ke pelayanan. (9) Tanyakan kembali pengetahuan klien tentang penyakit, prosedur perawatan dan pengobatan.


DAFTAR PUSTAKA


Carpenito, Lynda Juall.1999.Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan Edisi 2. EGC: Jakarta.

Price , S.A.S. Wilson, L. M. 1995. Patofisiologi Konsep klinis dan Proses-proses Penyakit. EGC; Jakarta.

Suparman, 1990. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI.

SMF UPF Bedah. 1994. Pedoman Diagnosa & Terapi. Surabaya.


Gyton, A,C. & Hall, J.E.1997. Buku Ajar: Patofisiologi Kedokteran, Edisi 9. EGC: Jakarta.



Klik Tombol Download Dibawah Ini Untuk 
Mendownload Filenya :






0 Comments for "LAPORAN PENDAHULUAN CRONIK KIDNEY DEASES (CKD) CAUSE HIPERTENSI"
Back To Top