LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PASIEN DENGAN DISMENORE
Yuflihul khair, S.Kep.,Ns
PENGERTIAN
Dismenore
(nyeri haid) merupakan gejala yang timbul menjelang dan selama mentruasi
ditandai dengan gejala kram pada abdomen bagian bawah. (Djuanda, Adhi.dkk,
2008). Nyeri haid yang merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit. Istilah
dismenorea biasa dipakai untuk nyeri haid yang cukup berat dimana penderita
mengobati sendiri dengan analgesik atau sampai memeriksakan diri ke dokter.
ETIOLOGI
Secara
umum, nyeri haid timbul akibat kontraksi disritmik miometrium yang menampilkan
satu gejala atau lebih, mulai dari nyeri yang ringan sampai berat di perut
bagian bawah, bokong, dan nyeri spasmodik di sisi medial paha.
Penyebab
Dismenorea Primer : (1) Faktor endokrin : Rendahnya kadar
progesteron pada akhir fase korpus luteum. Menurut Novak dan Reynolds, hormon
progesteron menghambat atau mencegah kontraktilitas uterus sedangkan hormon
estrogen merangsang kontraktilitas uterus. (2) Kelainan organic : Seperti:
retrofleksia uterus, hipoplasia uterus, obstruksi kanalis servikalis, mioma
submukosum bertangkai, polip endometrium. (3) Faktor kejiwaan atau
gangguan psikis : Seperti: rasa bersalah, ketakutan seksual, takut
hamil, hilangnya tempat berteduh, konflik dengan kewanitaannya, dan imaturitas.
(4) Faktor konstitusi seperti: anemia, penyakit menahun, dsb
dapat memengaruhi timbulnya dismenorea. (5) Faktor Alergi : Menurut
Smith, penyebab alergi adalah toksin haid. Menurut riset, ada asosiasi antara
dismenorea dengan urtikaria, migren, dan asma bronkiale.
Penyebab
Dismenorea Sekunder : (1) Intrauterine contraceptive devices . (2) Adenomyosis .
(3) Uterine myoma (fibroid), terutama mioma submukosum. (4) Uterine polyps .
(5) Adhesions (pelekatan). (6) Congenital malformation of the müllerian system.
(7) Stenosis atau striktur serviks, striktur kanalis servikalis, varikosis
pelvik, dan adanya AKDR. (8) Kista ovarium (ovarian cysts). (9) Pelvic
congestion syndrome . (10) Allen-Masters syndrome . (11) Mittelschmerz
(midcycle ovulation pain atau nyeri saat pertengahan siklus ovulasi)Psychogenic
pain (nyeri psikogenik). (12) Endometriosis pelvis. (13) Penyakit radang
panggul kronis. (14) Tumor ovarium, polip endometrium. (15) Kelainan letak
uterus seperti: retrofleksi, hiperantefleksi, retrofleksi terfiksasi. (16) Faktor
psikis, seperti: takut tidak punya anak, konflik dengan pasangan, gangguan
libido.
KLASIFIKASI
Secara
klinis Dismenorea dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu :
Dismenorea
Primer (esensial, intrinsik, idiopatik) : Dismenorea primer didefinisikan
sebagai nyeri haid yang tidak berhubungan dengan patologi pelvis makroskopis
(yaitu: ketiadaan penyakit pada pelvis). Umumnya terjadi pada tahun-tahun
pertama setelah menstruasi pertama atau menarche (Koltz, 1995) dan memengaruhi
sampai 50% wanita postpubescent (Dawood, 1988).
Dismenorea
Sekunder (ekstrinsik, yang diperoleh, acquired) : Dismenorea sekunder
(secondary dysmenorrhea) didefinisikan sebagai nyeri haid sebagai akibat dari
anatomi dan atau patologi pelvis makroskopis (Dawood, 1990; Koltz, 1995),
seperti yang dialami oleh wanita dengan endometriosis atau radang pelvis kronis
(chronic pelvic inflammatory disease). Kondisi ini paling sering dialami oleh
wanita berusia 30-45 tahun.
PATHOFISIOLOGI
Dismenorea
Primer : Dismenorea primer
(primary dysmenorrhea) biasanya terjadi dalam 6-12 bulan pertama setelah menarche (haid pertama)
segera setelah siklus ovulasi teratur (regular ovulatory cycle)
ditetapkan/ditentukan. Selama menstruasi, sel-sel endometrium yang terkelupas
(sloughing endometrial cells) melepaskan prostaglandin, yang menyebabkan
iskemia uterus melalui kontraksi miometrium dan vasokonstriksi. Peningkatan
kadar prostaglandin telah terbukti ditemukan pada cairan haid (menstrual fluid)
pada wanita dengan dismenorea berat (severe dysmenorrhea). Kadar ini memang
meningkat terutama selama dua hari pertama menstruasi. Vasopressin juga memiliki
peran yang sama. Riset terbaru menunjukkan bahwa patogenesis dismenorea primer
adalah karena prostaglandin F2alpha (PGF2alpha), suatu stimulan miometrium yang
kuat (a potent myometrial stimulant) dan vasoconstrictor, yang ada di
endometrium sekretori (Willman, 1976). Respon terhadap inhibitor prostaglandin
pada pasien dengan dismenorea mendukung pernyataan bahwa dismenorea
diperantarai oleh prostaglandin (prostaglandin mediated). Banyak bukti kuat
menghubungkan dismenorea dengan kontraksi uterus yang memanjang (prolonged
uterine contractions) dan penurunan aliran darah ke miometrium. Kadar
prostaglandin yang meningkat ditemukan di cairan endometrium (endometrial
fluid) wanita dengan dismenorea dan berhubungan baik dengan derajat nyeri
(Helsa, 1992; Eden, 1998).
Peningkatan
endometrial prostaglandin sebanyak 3 kali lipat terjadi dari fase folikuler
menuju fase luteal, dengan peningkatan lebih lanjut yang terjadi selama
menstruasi (Speroff, 1997; Dambro, 1998). Peningkatan prostaglandin di
endometrium yang mengikuti penurunan progesterone pada akhir fase luteal
menimbulkan peningkatan tonus miometrium dan kontraksi uterus yang berlebihan
(Dawood, 1990). Leukotriene juga telah diterima (postulated) untuk mempertinggi
sensitivitas nyeri serabut (pain fibers) di uterus (Helsa, 1992). Jumlah
leukotriene yang bermakna (significant) telah dipertunjukkan di endometrium
wanita dengan dismenorea primer yang tidak berespon terhadap pengobatan dengan
antagonis prostaglandin (Demers, 1984; Rees, 1987; Chegini, 1988; Sundell,
1990; Nigam, 1991). Hormon pituitari posterior, vasopressin, terlibat pada
hipersensitivitas miometrium, mereduksi (mengurangi) aliran darah uterus, dan
nyeri pada penderita dismenorea primer (Akerlund, 1979). Peranan vasopressin di
endometrium dapat berhubungan dengan sintesis dan pelepasan prostaglandin.
Dismenorea
Sekunder : Dismenorea sekunder
(secondary dysmenorrhea) dapat terjadi kapan saja setelah menarche (haid
pertama), namun paling sering muncul di usia 20-an atau 30-an, setelah
tahun-tahun normal, siklus tanpa nyeri (relatively painless cycles).
Peningkatan prostaglandin dapat berperan pada dismenorea sekunder, namun,
secara pengertian (by definition), penyakit pelvis yang menyertai (concomitant
pelvic pathology) haruslah ada. Penyebab yang umum termasuk: endometriosis,
leiomyomata (fibroid), adenomyosis, polip endometrium, chronic pelvic
inflammatory disease, dan penggunaan peralatan kontrasepsi atau IUD
(intrauterine device). Karim Anton Calis (2006) mengemukakan sejumlah faktor
yang terlibat dalam patogenesis dismenorea sekunder. Kondisi patologis pelvis
berikut ini dapat memicu atau mencetuskan dismenorea sekunder : (1) Endometriosis. (2) Pelvic inflammatory
disease . (3) Tumor dan kista ovarium . (4) Oklusi atau stenosis servikal . (5)
Adenomyosis . (6) Fibroids . (7) Uterine polyps . (8) Intrauterine adhesions .
(9) Congenital malformations (misalnya: bicornate uterus, subseptate uterus).
(10)Intrauterine contraceptive device. (11) Transverse vaginal septum . (12) Pelvic
congestion syndrome . (13) Allen-Masters syndrome
NURISNG PATHWAY :
KLIK DISNI
MANIFESTASI KLINIS
Mekanisme
klinis untuk Dismenorea ini dibedakan berdasarkan klasifikasinya, sebagai
berikut:
Dismenorea
Primer : Dismenorea
primer hampir selalu terjadi saat siklus ovulasi (ovulatory cycles) dan
biasanya muncul dalam setahun setelah menarche (haid pertama). Pada dismenorea
primer klasik, nyeri dimulai bersamaan dengan onset haid (atau hanya sesaat
sebelum haid) dan bertahan/menetap selama 1-2 hari. Nyeri dideskripsikan
sebagai spasmodik dan superimposed over a background of constant lower abdominal
pain, yang menyebar ke bagian belakang (punggung) atau anterior dan/atau medial
paha. Berhubungan dengan gejala-gejala umum, seperti: (1) Malaise
(rasa tidak enak badan), (2) Fatigue/lelah
(85%). (3) Nausea (mual) dan vomiting/muntah (89%). (4) Diare
(60%). (5) Nyeri punggung bawah atau lower backache (60%). (6) Sakit
kepala atau headache (45%). (7) Terkadang dapat juga disertai vertigo
atau sensasi jatuh (dizziness), perasaan. (8) Cemas, gelisah
(nervousness), dan bahkan collapse (ambruk)
Manifestasi
klinis (clinical features) dismenorea primer termasuk: (1) Onset segera setelah
menarche (haid pertama). (2) Biasanya berlangsung sekitar 48-72 jam (sering
mulai beberapa jam sebelum atau sesaat setelah haid (menstrual flow). (3) Nyeri
perut (cramping) atau nyeri seperti saat melahirkan (laborlike pain). (4) Seringkali
ditemukan pada pemeriksaan pelvis yang biasa atau unremarkable pelvic
examination findings (termasuk rektum).
Menurut
Laurel D Edmundson (2006) dismenorea primer memiliki ciri khas sebagai berikut :
(1) Onset dalam 6-12 bulan setelah menarche (haid pertama). (2) Nyeri pelvis
atau perut bawah (lower abdominal/pelvic pain) dimulai dengan onset haid dan
berakhir selama 8-72 jam. (3) Low back pain. (4) Nyeri paha di medial atau
anterior. (5) Headache (sakit kepala). (6) Diarrhea (diare). (7) Nausea (mual)
atau vomiting (muntah)
Karakteristik
dismenorea primer menurut Ali Badziad (2003), yaitu :
(1)
Sering ditemukan pada usia muda. (2) Nyeri sering timbul segera setelah mulai
timbul haid teratur. (3) Nyeri sering terasa sebagai kejang uterus yang spastik
dan sering disertai mual, muntah, d. diare,
kelelahan, dan nyeri kepala. (4) Nyeri haid timbul mendahului haid dan
meningkat pada hari pertama atau kedua haid. (5) Jarang ditemukan kelainan genitalia
pada pemeriksaan ginekologis. (6) Cepat memberikan respon terhadap pengobatan
medikamentosa.
Dismenorea
Sekunder : Nyeri dengan pola yang berbeda didapatkan pada dismenorea sekunder
yang terbatas pada onset haid. Ini biasanya berhubungan dengan perut
besar/kembung (abdominal bloating), pelvis terasa berat (pelvic heaviness), dan
nyeri punggung (back pain). Secara khas, nyeri meningkat secara progresif
selama fase luteal sampai memuncak sekitar onset haid.
Berikut
ini merupakan manifestasi klinis dismenorea sekunder (Smith, 1993; Smith,
1997), yaitu : (1) Dismenorea terjadi selama siklus pertama atau kedua setelah
menarche (haid pertama), yang merupakan indikasi adanya obstruksi outflow
kongenital. (2) Dismenorea dimulai setelah berusia 25 tahun. (3) Terdapat
ketidaknormalan (abnormality) pelvis dengan pemeriksaan fisik: pertimbangkan
kemungkinan endometriosis, pelvic inflammatory disease, pelvic adhesion
(perlengketan pelvis), dan adenomyosis. (4) Sedikit atau tidak ada respon
terhadap NSAIDs, kontrasepsi oral,atau keduanya.
Menurut
Laurel D Edmundson (2006) dismenorea sekunder memiliki ciri khas sebagai
berikut: (1) Onset pada usia 20-an atau 30-an, setelah siklus haid yang relatif
tidak nyeri di masa lalu. (2) Infertilitas.(3) Darah haid yang banyak (heavy
menstrual flow) atau perdarahan yang tidak teratur. (4) Dyspareunia (sensasi
nyeri saat berhubungan seks). (5) Vaginal discharge. (6) Nyeri perut bawah atau
pelvis selama waktu selain haid . (7) Nyeri yang tidak berkurang dengan terapi
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs)
Karakteristik
dismenorea sekunder menurut Ali Badziad (2003), yaitu : (1) Lebih sering
ditemukan pada usia tua dan setelah dua tahun mengalami siklus haid teratur.
(2) Nyeri dimulai saat haid dan meningkat bersamaan dengan keluarnya darah
haid. (3) Sering ditemukan kelainan ginekologis. (4) Pengobatannya seringkali
memerlukan tindakan operatif.
KOMPLIKASI :
(1) Jika diagnosis
dismenorea sekunder diabaikan atau terlupakan, maka patologi yang mendasari
(underlying pathology) dapat memicu kenaikan morbidity (angka kematian),
termasuk sterility (kemandulan). (2) Isolasi sosial dan/atau depresi.
PEMERIKASAAN
PENUNJANG
Pemeriksaan
laboratorium dapat dilakukan untuk menunjang penegakan diagnosa bagi penderita
Dismenorea atau mengatasi gejala yang timbul, Pemeriksaan berikut ini dapat
dilakukan untuk menyingkirkan penyebab organik dismenorea : (1) Cervical
culture untuk menyingkirkan sexually transmitted diseases. (2) Hitung leukosit
untuk menyingkirkan infeksi. (3) Kadar human chorionic gonadotropin untuk
menyingkirkan kehamilan ektopik. (4) Sedimentation rate. (5) Cancer antigen 125
(CA-125) assay: ini memiliki nilai klinis yang terbatas dalam mengevaluasi
wanita dengan dismenorea karena nilai prediktif negatifnya yang relatif rendah.
(5) Laparoscopy. (6) Hysteroscopy. (7) Dilatation. (9) Curettage. (10) Biopsi
Endomentrium
PENATALAKSANAAN
Berdasarkan
MIMS Indonesia (2008) penatalaksanaan untuk Dismenorea, sebagai berikut :
Medis
: (1) Pemberian
Analgesik (non opiat) ringan dan sederhana atau kombinasi analgesik dan AINS.
(2) Pemberian Analgesik Antiinflamasi Non Steroid (AINS). (3) Pemberian
Antipasmodik. (4) Pemberian Estrogen dan Progesteron. (5) Pemberian
Suplemen
Keperawatan;
(1)
Kompres
bagian bawah abdomen dengan botol berisi air panas atau bantal pemanas khusus
untuk meredakan nyeri. (2) Minum banyak air, hindari konsumsi garam dan
minuman yang berkafein untuk mencegah pembengkakan dan retensi air. (3) Olahraga
secara teratur bermanfaat untuk membantu mengurasi dismenore karena akan memicu
keluarnya hormon endorfin yang dinilai sebagai pembunuh alamiah untuk rasa
nyeri (4) Makan makanan yang bergizi, kaya akan zat besi, kalsium, dan
vitamin B kompleks. Jangan mengurangi jadwal makan. (5) Istirahat dan
relaksasi dapat membantu meredakan nyeri. (6) Lakukan aktivitas yang
dapat meredakan stres, misalnya pijat,yoga, atau meditasi, untuk membantu
meminimalkan rasa nyeri. (7) Pada saat berbaring terlentang, tinggikan
posisi pinggul melebihi posisi bahu untuk membantu meredakan gejala dismenore
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN DISMENORE
Pengkajian
(1)
Pengumpulan Data
(2)
Rumusan Masalah Keperawatan : (a) Nyeri akut . (b) Intoleransi aktifitas . (c) Ansietas.
(d) Kurang pengetahuan tentang proses terjadinya dismenore
Diagnosa Keperawatan
: (1) Nyeri
akut b/d gangguan menstruasi. (2) Intoleransi
aktifitas b/d nyeri dismenore. (3) Ansietas
b/d ineffektif koping individu. (4) Kurang pengetahuan tentang proses
terjadinya dismenore b/d kurang informasi
Perencanaan
Diagnosa
1
Tujuan
:
Setelah diberikan askep selama 1x24 jam diharapkan nyeri pasien berkurang
dengan kriteria hasil : Nyeri berkurang/dapat diadaptasi, Dapat mengindentifikasi
aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri, skala nyeri ringan.
Intervensi
:
1.
Jelaskan dan bantu klien dengan
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif. R/ : Pendekatan dengan
menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan
dalam mengurangi nyeri.
2.
Ajarkan penggunaan kompres hangat. R/
: Meringankan kram abdomen. Panas bekerja dengan pedoman meningkatkan
vasodilatasi dan otot relaksasi,saat menurnnya iskemic uterus.
3.
Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik
untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri
dan juga tingkatkan relaksasi masase. R/ : Akan melancarkan peredaran darah,
sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi
nyerinya.
4.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri
akut. R/ : Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.
5.
Lakukan pijatan punggung bawah. R/ :
Mengurangi nyeri dengan relaksasi otot vertebra dsn menigkatkan suplai darah.
Banyak perempuan yang mengdapatkan hal positif dengan yoga, biofeedback,
meditasi, dan relaksasi therapy.
6.
Berikan kesempatan waktu istirahat
bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu tidur,
belakangnya dipasang bantal kecil.R/ : Istirahat akan merelaksasi semua
jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan
7. Anjurkan menurunkan masukan sodium
selama seminggu sebelum mens R/ :
Mengurangi resiko retensi cairan.
8.
Tingkatkan pengetahuan tentang :
sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung. R/ :
Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat
membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
9. Observasi ulang tingkat nyeri, dan
respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji
efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2
hari. R/ : Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif
untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
10. Kolaborasi
dengan dokter, pemberian analgetik. Kolaborasi pemberian obat seperti
penghambat sintesa prostaglandin ( PGSI), ibuprofen ( Motrin), naproxen sodium
( Anaprox) dan ibuprofen setidaknya 48 jam sebelum terjadi menstruasi. R/ : Analgetik memblok lintasan nyeri,
sehingga nyeri akan berkurang. Kontrasepsi oral dapat diberikan jika klien
menginginkan kontrasepsi sebagai pembebas nyeri.OC's mencegah ovulasi,
menurunkan jumlah darah haid, yang mengurangi jumlah prostaglandin dan
dysmenorrhea.
Diagnosa
2
Tujuan
:
Setelah diberikan askep selama 1x24 jam diharapkan Ps menunjukan perbaikan
toleransi aktifitas dengan kriteria hasil Ps dapat melakukan aktifitas
Intervensi
:
1.
Hindari seringnya melakukan
intervensi yang tidak penting yang dapat membuat lelah, berikan istirahat yang
cukup. R/: Istirahat yang cukup dapat menurunkan stress dan meningkatkan
kenyamanan.
2.
Berikan istirahat cukup dan tidur 8 –
10 jam tiap malam. R/: istirahat cukup dan tidur cukup menurunkan kelelahan dan
meningkatkan resistensi terhadap infeksi.
3. Observasi ulang tingkat nyeri, dan
respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji
efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2
hari. R/ : Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif
untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.
Diagnosa
3
Tujuan
:
Setelah diberikan askep selama 1x24 jam diharapkan kecemasan menurun dengan
kriteria hasil Ps tenang dan dapat mengekspresikan perasaannya
Intervensi:
1.
Jelaskan prosedur yang diberikan dan
ulangi dengan sering
R/ : Informasi memperkecil rasa takut dan
ketidaktauan
2.
Anjurkan orang terdekat
berpartisipasi dalam asuhan
R/ : Meningkatkan perasaan berbagi
3. Anjurkan dan berikan kesempatan pada
pasien untuk mengajukan pertanyaan dan menyatakan masalah
R/ : membuat perasaan terbuka dan bekerja
sama
4.
Singkirkan stimulus yang berlebihan
R/ : memberi lingkungan yang lebih tenang
5.
Ajarkan teknik relaksasi; latihan
napas dalam, imajinasi terbimbing
R/: pengalihan perhatian selama episode asma
dapat menurunkan ketakutan dan kecemasan
6.
Informasikan tentang perawatan, dan
pengobatan
R/: menurunkan rasa takut dan kehilangan
control akan dirinya
7.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan
tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
R/ : Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana
teraupetik.
8. Pertahankan perilaku tenang, bantu
pasien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
R/ : Membantu klien mengalami efek fisiologi
hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
9.
Jelaskan pada klien tentang
etiologi/faktor dismenore.
R/ : Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.
Diagnosa
4
Tujuan
:
Setelah diberikan askep selama 1x24 jam diharapkan Ps tahu, mengerti, dan patuh
dengan program terapeutik dengan kriteria hasil Ps mengerti tentang penyakitnya
dan apa yang mempengaruhinya.
Intervensi
:
1.
Bantu pasien mengerti tentang tujuan
jangka pendek dan jangka panjang
R/ : Menyiapkan pasien untuk mengatasi
kondisi serta memperbaiki kualitas hidup
2.
Ajarkan pasien tentang penyakit dan
perawatannya.
R/ : Mengajarkan pasien tentang kondisinya
adalah salah satu aspek yang paling penting dari perawatannya
3.
Berikan dukungan emosional
R/ : Memudahkan klien agar bersikap positif.
4. Libatkan orang terdekat dalam program
pengajaran, sediakan materi pengajaran/instruksi tertulis
R/ : Membantu meningkatkan pengetahuan dan
memberikan sumber tambahan untuk referensi perawatan di rumah
DAFTAR PUSTAKA
1.
Doenges, Marilynn E, dkk. Rencana
Asuhan Keperawatan. 2000. Jakarta : EGC
2.
Smeltzer, Suzanne C, dkk. Keperawatan
Medikal Bedah vol. 2. 2001. Jakarta : EGC
3.
Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi
vol. 2. 2005. Jakarta : EGC
4.
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. Buku
Saku Diagnosa Keperawartan. 2006. Jakarta : EGC
KLIK DOWNLOAD DIBAWAH INI UNTUK MENDAPATKAN
FILE LENGKAP DALAM BENTUK PDF
Tag :
KEPERAWATAN MATERNITAS
0 Comments for "LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DISMENORE"