LAPORAN
PENDAHULUAN
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN INFARK MIOKARD AKUT (IMA) DENGAN ELEVASI ST
DEFINISI
Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis
rawat inap tersering di Negara maju. Laju mortalitas awal 30% dengan lebih dari
separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai Rumah sakit. Walaupun laju
mortalitas menurun sebesar 30% dalam 2 dekade terakhir, sekita 1 diantara 25
pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama
setelah IMA (Sudoyo, 2006).
IMA dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction
= STEMI) merupakan bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri
dari angina pectoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi
ST. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya
(Sudoyo, 2006).
ETIOLOGI
STEMI terjadi jika trombus arteri
koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini
dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran
darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak
aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner derajat
tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena
berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri
ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark
terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan
jika kondisi local atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
thrombus mural pada lokasi rupture yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian
histology menunjukkan plak koroner cendeeung mengalami rupture jika mempunyai vibrous cap yang tipis
dan intinya kaya lipid (lipid
rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus,
yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi rupture
plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi
trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2
(vasokonstriktor local yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu
perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIB/IIIA. Setelah mengalami konversi
fungsinya, reseptor, mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada
protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan
fdibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalent yang dapat mengikat dua
platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan
agregasi.
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh
pajanan tissue faktor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi
mengakibatkan konversi protombin menjadi thrombin, yang kemudian menkonversi
fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI
dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli
koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner dan berbagai penyakit
inflamasi sistemik.
MANIFESTASI KLINIS
Pasien yang datang dengan keluhan
nyeri dada perlu dilakukan anamnesa secara cermat apakah nyeri dadanya berasal
dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal
dari jantung dibedakan apakah nyerinnya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta
faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes militus, dislipidemia,
merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga
Bila dijumpai pasien dengan nyeri
dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA
atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah dalam jangka panjang dapat
menyebabkan konsekuensi yang berat. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan
gejala cardinal pasien IMA. Gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan
pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut: (1) Lokasi: substernal,
retrosternal, dan prekordial. (2) Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan,
rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan
diplintir. (3) Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher,
rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan. (4)
Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat. (5) Faktor
pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan. (6) Gejala
yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas dan lemas.
Diagnosis banding nyeri dada STEMI
antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis
dan gangguan gastrointestinal, Nyeri dada tidak selalu ditemukan pada STEMI.
STEMI tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes militus dan usia lanjut. Sebagian
besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit
dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien
infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi
dan atau hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi fentrikular adalah S4 dan
S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal
bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistlik
apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan
pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam
minggu pertama pasca STEMI.
Diagnosis IMA dengan elevasi ST
ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya
elevasi ST ≥2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan
atau ≥1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung,
terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan
memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim,
mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama Penatalaksanaan adalah time is muscle.
Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus
dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai
STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan
di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan keputusan
terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka
pemeriksan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik
dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau
pemantauan EKG 12 sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi
potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG
sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel
kanan.
Sebagian besar pasien dengan
presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evlolusi menjadi gelombang Q pada
EKG yang akhirnya infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi thrombus tidak total, obstruksi
bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tak
stabil atau non STEMI. Pada bagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa
menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q. Sebelumnya istilah infark miokard
transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang
R dan infark miokard miokard non transmural jika EKG hanya menunjukkan
perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada
korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark (mural/transmural)
sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA
mural/nontransmural.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan laboratorium harus
dilakukan sebagai bagian dalam tatalaksana pasien STEMI namun tidak boleh
menghambat implementasi terapi repefusi.
(1) Petanda (Biomarker) Kerusakan
Jantung : Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinin Kinase (CK)MB dan
cardiac specific troponin (cTn)T atau cTn1 dan dilakukan secara serial. cTn
harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan
segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Pengingkatan
nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis
jantung (infark miokard).
(2) CKMB: meningkat setelah 3 jam
bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal
dala 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat
meningkatkan CKMB.
(3) cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dab
cTn I. Enzi mini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari,
sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain
yaitu: (1) Mioglobin: dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai
puncak dalam 4-8 jam. (2) Creatinin Kinase (CK): Meningkat setelah 3-8 jam bila
ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam
3-4 hari. (3) Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24 jam bila ada
infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
Garis horizontal menunjukkan upper
reference limit (URL) biomarker jantung pada laboratorium kimia klinis. URL
adalah nilai mempresentasikan 99th percentile kelompok control tanpa
STEMI. Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leikositosis
polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan
menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/u1.
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana IMA dengan elevasi ST
saat ini mengacu pada data-data dari evidence based berdasarkan penelitian
randomized clinical trial yang terus berkembnag ataupun konsesus dari para ahli
sesuai pedoman (guideline). Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis
cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi
yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA. Terdapat beberapa
pedoman (guidelie) dalam tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA
tahun 2004 dan ESC tahun 2003. Walaupun demikian perlu disesuaikan dengan
kondisi sarana/fasilitas di tempat masing-masing senter dan kemampuan ahli yang
ada (khususnya di bidang kardiologi Intervensi). (1) Tatalaksana Awal. (2) Tatalaksana
Pra Rumah Sakit
Prognosis STEMI sebagian besar
tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal
(aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian
di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak,
yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari
separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital
pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain: (1) Pengenalan gejala oleh pasien
dan segera mencari pertolongan medis. (2) Segera memanggil tim medis emergensi
yang dapat melakukan tindakan resusitasi. (3) Transportasi pasien ke Rumah
Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat
yang terlatih. (4) Melakukan terapi perfusi.
Keterlambatan terbanyak yang terjadi
pada penanganan pasien biasanya bukan selama transportasi ke Rumah Sakit, namun
karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai keputusan pasien untuk meminta
pertolongan. Hal ini bisa di tanggulangi dengan cara edukasi kepada masyarakat
oleh tenaga professional kesehatan mengenai pentingnya tatalaksana dini. Pemberian
fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedic di ambulans
yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan
kendali komando medis online yang bertanggung jawab pada pemberian terapi. Di
Indonesia saat ini pemberian trombolitik pra hospital ini belum bisa dilakukan.
Panel A: Pasien dibawa oleh EMS
setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada pasien STEMI dapat dilakukan dengan
terapi farmakologis (fibrinolisis) atau pendekatan kateter (PCI primer).
Implementasi strategi ini bervariasi tergantung cara transportasi pasien dan
kemampuan penerimaan rumah sakit. Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit.
Waktu transport ke rumah sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi
sasaran waktu iskemik total adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan: (1) JIka
EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien memennuhi syarat
tetapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai dalam 30 menit sejak
EMS tiba. (2) Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah
sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital
door-needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai indikasi
fibrinolitik. (3) Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah
sakit dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-balloon
time harus dalam waktu 90 menit.
TATALAKSANA
DI RUANG EMERGENSI
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien
yang dicurigai STEMI mencakup: mengurangi/menghilangkan nyeri dada,
identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi perfusi segera, triase
pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari
pemulangan cepat pasien dengan STEMI.
Tatalaksana Umum : (1) Oksigen : Suplemen oksigen harus diberikan
pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI
tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. (2) Nitrogliserin
(NTG) : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan
dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit.
Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen
miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard
dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh
kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT
intravena juga diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada
pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai
menderita infark ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru
bersih dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan
phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat
memicu efek hipotensi nitrat.
(a) Mengurangi/menghilangkan nyeri
dada : Mengurangi
atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan
aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban
jantung.
(b) Morfin :
Morfin sangat
efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam tatalaksana
nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu
diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah
jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi
tungkai pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%.
Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau
blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini
biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.
(c) Aspirin : Aspirinmerupakan tatalaksana dasar
pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner
akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di
ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.
(d) Penyekat Beta :
Jika morfin tidak
berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat
mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5
menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 menit,
tekanan darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi
tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV
terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan
dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam.
(e)
Terapi Reperfusi : Reperfusi dini akan memeperpendek
lamaoklusi koroner, meminimlakan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel
dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure
atau takiaritmia ventricular yang maligna. Sasaran terapi perfusi pada pasien
STEMI adalah door-to-needle (atau medical contact-to-needle) time untuk memulai
terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time
untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
(f) Seleksi Strategi Reperfusi : Beberapa hal haru dipertimbangkan
dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain: (-) Waktu onset gejala . (-) Waktu
onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas infark
dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan thrombus
sangat tergantung dengan waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam
pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan
secara dramatis menurunkan angka kematian. (-) Sebaliknya, kemampuan
memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang banyak
tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan
menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadapa laju mortalitas
jika PCI dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.
The Task Force on the Management of
Acute Myocardial Infraction of the European Society of Cardiology dan ACC/AHA
merekomendasikan target medical contact-to-balloon atau door-tto-balloon time
dalam waktu 90 menit. (1) Risiko STEMI : Beberapa model telah dikembangkan yang
membantu dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka
estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien
renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik. (2) Risiko
Perdarahan : Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada
pasien. Jika terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis,
semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat
keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi
farmakologis harus mempertimbangkan mafaat dan risiko. (3) Waktu yang
Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI : Adanya fasilitas kardiologi
Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas
yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari
reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard
rekuren non fatal atau strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal
penurunan laju infark miokard non fatal berkurang.
Langkah-langkah Penilaian dalam
Memilih Terapi Reperfusi pada Pasien STEMI : Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
: (1) Waktu sejak onset gejala. (2) Risiko STEMI. (3) Risiko fibrinolisis. (4) Waktu
yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI yang mampu
Langkah 2: Tentukan apakah
firinolisis atau strategi invasif lebih disukai. Jika presentasi kurang dari 3
jam dan tidak ada keterlambatan untuk strategi invasive, tidak ada preferensi
untuk strategi lain.
Fibinolisis umumnya lebih disukai
jika : (1) Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala dan
keterlambatan ke strategi invasive. (2) Strategi invasive bukan merupakan
pilihan. (3) Laboratorium kateterisasi belum tersedia. (4) Kesulitan akses
vascular. (5) Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu. (6) Terlambat
untuk strategi invasive: (a) Transport jauh. (b) (Door-to-balloon)-(Door-to-needle) time
lebih dari 1 jm. (c) Medical contact-to-balloon atau door-to-balloon time lebih
dari 90 menit.
Strategi invasive umumnya lebih
disukai jika: (1) Laboratorium PCI yang mampu tersedia dengan backup surgical
medical contact to balloon atau door to ballon time <90 menit. (Door to
ballon)-(Door to needle) time <1 jam. (1) Risiko tinggi STEMI : (a) Syok
kardiogenik Klas Killip lebih atau sama dengan 3. Kontraindikasi fibrinolisis,
termasuk meningkatnya risiko perdarahan dan perdarahan intracranial. Presentasi
terlambat. Onset gejala > 3 jam yang lalu, Diagnosis STEMI tidak yakin.
Percutaneous Coronary Intervention
(PCI) : Intervensi
koroner perkutan, biasanya angioplasty dan atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi
pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI
primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam melakukan arteri koroner yang
teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka
panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih dipilih
jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko
perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam
jika bekuan lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun
demikian PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya
terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa Rumah Sakit.
Reperfusi Farmakologis
(1) Fibinolisis : Jika tidak ada
kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit sejak
masuk (door-to-needle time <30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah
restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat
fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase,
tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan
thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu golongan spesifik fibrin seperti tPA
dan non fibrin seperti streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi,
aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit) digambarkan dengan skala
kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI)
grading system: (1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada
arteri yang terkena infark. (2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi
kontras melewati titik obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal. (3) Grade
2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian distal tetapi
dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal. (4) Grade 3 menunjukkan
perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran
TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark
menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark,
mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka
pendek dan jangka panjang.
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan
risiko relative kematian di rumah sakit sampai 50% jika diberikan dalam jam
pertama onset gejala STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10 tahun.
Setiap hitungna menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 Jm onset gejala
akan mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih sedang,
terapi masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark,
dan beberapa manfaat nampaknya masih ada samapi 12 jam terutama jika nyeri dada
masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada sadapan EKG yang belum
menunjukkkan gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan dengan PCI pada STEMI
(PCI primer), fibrinolisis secara umum merupakan strategi reperfusi yang lebih
disukai pada pasien pada jam pertama gejala, jika perhatian pada masalah logistic
seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang baik, atau ada antisipasi
keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara waktu trombolisis dapat dimulai
dibandingkan implementasi PCI. tPA dan activator plasminogen spesifik fibrin
lain seperti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam
mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki
survival sedikit lebih baik.
Obat Fibrinolitik
Streptokinase (SK) :
Merupakan fibrinolitik non spesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan
dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya
antibody. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya
yang murah dan insiden perdarahan intracranial yang rendah, manfaat pertama
diperlihatkanpada GISSI-1 trial.
Tissue Plasminogen Activator (tPA,
alteplase) : GUSTO-1
trial menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang
mendapat tPA dibandingkan SK. Namun tPA harganya lebih mahal daripada SK dan
risiko perdarahan intracranial sedikit lebih tinggi.
Reteplase (Retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan
keamanan sebvanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial, dengan dosis
bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
Tenekteplase (TNKase) : Keuntungan mencakup memperbaiki
spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). LAporan awal dari TIMI 10B menunjukkan tenekteplase
mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahanyang sama dibandingkan tPA.
Indikasi Terapi Fibrinolitik:
Klas I : (a) Jika tidak ada
kontraindikasi terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien STEMI dengan
onset gejala <12 jam dan elevasi ST>0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2
sadapan ekstremitas. (b) Jika tidak ada kontaindikasi, terapi fibrinolitik
harus diberikan pada pasien STEMI dengan onset gejala <12 jam dan LBBB baru
atau diduga baru.
Klas II a : (a) Jika tidak terdapat
kontraindikasi, dipertimbangkan pemberian terapi fibrinolitik pada pasien STEMI
dengan onset gejala <12 jam dan EKG 12 sadapan konsisten dengan infark
miokard posterior. (b) Jika tidak terdapat kontraindikasi, dipertimbangkan
pemberian terapi fibrinolitik pada pasien dengan gejala STEMI mulai dari <12
jam sampai 24 jam yang mengalami gejala iskemik yang terus berlanjaut dan elevasi
ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2 sadapan prekordial yang berdampingan
atau sekurang-kurangnya 2 sandapan ekstremitas. (c) Trombolitik dianggap
berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi ST >50%
dalam 90 menit pemberian trombolitik. Trombolitik tidak menunjukkan hasil pada
graft vena, sehingga jika pasien pasca CABG dating dengan IMA, cara reperfusi
yang lebih disukai adalah percutaneous coronary intervention (PCI).
Tatalaksana di Rumah Sakit
ICCU : (1) Aktivitas. Pasien harus
istirahat dalam 12 jam pertama. (2) Diet. Karena risiko muntah dan aspirasi
segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan
mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak <30% kalori total dan
kandungan kolesterol <300 mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang
kaya serat kalium, magnesium dan rendah natrium. (3) Bowels. Istirahat di
tempat tidur dan efek penggunaan narkotik untuk menghilangkan nyeri sering
mengakibatkan konstipasi. Dianjurkan penggunaan kursi komod di amping tempat
tidur, diet tinggi serat dan penggunaan pencahar ringna secara rutin seperti
dioctyl sodium sulfosuksinat (200 mg/hari). (4) Sedasi. Pasien memerlukan
sedasi selama perawatan untuk mempertahankan periode inaktivitas dengan
penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan
3 atau 4 kali sehari biasanya efektif.
Terapi Farmakologis
(a) Antitrombotik : Penggunaan terapi
antilatetlet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti klinis
dan laboratories bahwa thrombosis mempunyai peran penting dalam pathogenesis.
Tujuan primer pengobatan adalah untuk mementapkan dan memepertahankan potensi
arteri kororner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi
pasien menjadi thrombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI
dapat dilihat pada Antiplatelets
Trialists Collaboration. Data dari hampir 20.000 pasien dengan
infark miokard yang berasal dari 15 randomised trial dikumpulkan dan
menunjukkan penurunan relative laju mortalitas sebesar 27% dari 14,2% pada
kelompok control dibandingkan 10,4% pada pasien yang mendapat antiplatelet.
PAda penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vascular sebesar
23% dan infark nonfatal sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan
manfaat untuk mencegah komplikasi thrombosis pada pasien STEMI yang menjalani
PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab
dan stenting
dengan placebo dan stenting.
Hasilnya menunjukkan penurunan kematian, reinfark atau revaskularisasi segera
dan 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab
dan stent.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
infractionated heparin. Pemberian UFHIV segera sebagai tambahan terapi regimen
aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relative (tPA, rPA atau TNK)
membantu trombolisis dan memantapkan serta mempertahankanpatensi arteri yang
terkait infark. Dosis yang direkomendasi adlah bolus 60U/kg (maksimum 4000U)
dilanjutkan infuse inisial 12U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). Activated
partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2
kali.
Antikoagulan alternative pada pasien
STEMI adalah low molecular weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3
enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas reinfark di
Rumah Sakit dan iskemik refrakter di Rumah Sakit. Pasien dengan infark
anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat
emboli, thrombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau fibrilasi atrial
merupakan risiko tinggi tromboemboli paru terapeutik penuh (UFH atau LMWH)
selama dirawat, dilanjutkan sekurang-kurangnya 3 bulan.
Penyekat Beta : Manfaat penyekat beta pada pasien
STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut
dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan
sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki hubungan
suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnnya
infark dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI
bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor
ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagl jantung atau
fungsi sistolik kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau
riwayat asma)
Inhibitor ACE :
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE,
dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor
ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi
(pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan atau
fungsi ventrikel kiri menurun global). Namun bukti menunjukkan manfaat jangka
pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan
haemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistolik >100
mmHg. Mekanisme yang mengakibatkan mekanisme remodeling ventrikel pasca infark
berulang juga leibh rendah pada pasien yang mnedapat inhibitor ACE menahun
pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 2
jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas
pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan
imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau
terdapat abnormalitas gerakan dinding global atau pasien hipertensif.
Penelitian klkinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari
penelitian klinis pada pasien STEMI menunjukkan bahwa angiotensin receptor
blockers (ARB) mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri
menurun atau gagal jantung klinis yang tak toleran terhadapa ACE inhibitor.
Algoritma STEMI
Klien merasakan nyeri dada akibat
iskemia
|
Lakukan penanganan :
1.
Monitor ABCs klien, persiapkan untuk melakukan CPR dan
defibrilasi
2.
Beri oksigen, aspirin, nitrogliserin, dan morfin jika
diperlukan
3.
Jika tersedia lakukan perekaman EKG lead 12. Jika ada
elevasi ST : (a) segera hubungi rumah sakit terdekat. (b) mulai untuk
memeriksa fibrilasi
4. Rujuk klien ke
rumah sakit
|
Lakukan pemeriksaan ED
(<10menit)
1.
Periksa tanda-tanda vital. Evaluasi saturasi oksigen
2.
Pasang IV line
3.
Lakukan pemeriksaan EKG lead 12
4.
Evaluasi
5.
Lakukan pemeriksaan fibrilasi
6.
Lakukan pemeriksaan elektrolit dan koagulasi
7.
Lakukan foto thoraks
|
Lakukan perawatan ED :
1.
Beri oksigen 4L/min, pertahankan saturasi >90%
2.
Aspirin 160-325 mg (jika tidak diberikan oleh EMS)
3.
Nitrogliserin subligual, spray, IV
4.
Morfin IV jika nyeri tidak hilang dengan nitrogliserin
|
KOMPLIKASI STEMI
Disfungsi Ventrikular : Setelah STEMI, ventrikel kiri
mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang
mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling ventricular dan
umumnya mendahuluai berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan
bulan atau tahun pasca infark. SEgera setetlah infark ventrikel kiri mengalami
dilatasi. Secara akut, hasil ini berasala dari ekspansi infark al: slippage
serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona
nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark,
mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan
lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri
yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal
jantung dan prognosis lebih buruk Progresivitas dilatasi dan knsekuensi
klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhi bitot ACE dan vasodilator lain.
PAda pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal
jantung, inhibitore ACE harus diberikan.
Gangguan Hemodinamik : Gagal pemompaan (pump failure)
merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis
iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas,
baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering
dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada
pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.
Komplikasi Mekanik : Ruptur muskulus papilaris, rupture
septum ventrikel, rupture dinding vebtrikel. Penatalaksanaan: operasi.
PROGNOSIS
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI
dan NSTEMI selama enam bulan setelah serangan jantung hampir tidak berbeda.
Hasil jangka panjang yang ditingkatkan dengan kepatuhan hati-hati terhadap
terapi medis lanjutan, dan ini penting bahwa semua pasien yang menderita
serangan jantung secara teratur dan terus malakukan
terapi jangka panjang dengan obat-obatan seperti:
1.
ASPIRIN®
2.
clopidrogel
3.
statin (cholesterol lowering) drugs
4.
beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut
jantung dan melindungi otot jantung)
5.
ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard
dan aliran darah)
Kerusakan pada otot jantung tidak
selalu bermanifestasi sebagai rasa sakit dada yang khas, biasanya berhubungan
dengan serangan jantung. Bahkan jika penampilan karakteristik EKG ST elevasi
tidak dilihat, serangan jantung mengakibatkan kerusakan otot jantung, sehingga
cara terbaik untuk menangani serangan jantung adalah untuk mencegah mereka.
Tabel 2.7.1: Risk Score untuk Infark
Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
Faktor Risiko (Bobot)
|
Skor Risiko/Mortalitas 30 hari(%)
|
Usia 65-74 tahun (2 poin)
|
0 (0,8)
|
Usia > 75 tahun (3 poin)
|
1 (1,6)
|
Diabetes mellitus/hipertensi atau
angina (1 poin)
|
2 (2,2)
|
Tekanan darah sistolik < 100
mmHg (3 poin)
|
3 (4,4)
|
Frekuensi jantung > 100 mmHg (2
poin)
|
4 (7,3)
|
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
|
5 (12,4)
|
Berat < 67 kg (1 poin)
|
6 (16,1)
|
Elevasi ST anterior atau LBBB (1
poin)
|
7 (23,4)
|
Waktu ke perfusi > 4 jam (1
poin)
|
8 (26,8)
|
Skor risiko = total poin ( 0-14 )
|
>8 (35,9)
|
PENGKAJIAN
Aktifitas
a.
Gejala : Kelemahan, Kelelahan, Tidak
dapat tidur, Pola hidup menetap, Jadwal olah raga tidak teratur
b.
Tanda :
Takikardi, Dispnea pada istirahat atau aaktifitas.
Sirkulasi
a.
Gejala :
riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah tekanan darah,
diabetes mellitus.
b.
Tanda : Tekanan
darah, Dapat normal / naik / turun, Perubahan postural dicatat dari tidur
sampai duduk atau berdiri.
Nadi : Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat
kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia).
Bunyi
jantung : Bunyi
jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal jantung atau penurunan kontraktilits
atau komplain ventrikel.
Murmur : Bila ada
menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot jantung, Friksi ; dicurigai
Perikarditis, Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur
Edema : Distensi vena juguler, edema dependent , perifer, edema
umum, krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau ventrikel.
Warna : Pucat
atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau bibir
Integritas
ego
a.
Gejala :
menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, perasaan ajal sudah
dekat, marah pada penyakit atau perawatan, khawatir tentang keuangan , kerja ,
keluarga.
b.
Tanda : menoleh,
menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah, perilaku menyerang,
fokus pada diri sendiri, koma nyeri.
Eliminasi
: Tanda : normal, bunyi usus menurun.
Makanan atau
cairan
a.
Gejala : mual,
anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau rasa terbakar
b.
Tanda :
penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah, perubahan berat
badan
Higiene
: Gejala atau tanda : lesulitan melakukan tugas perawatan
Neurosensori
a.
Gejala : pusing,
berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau istrahat )
b.
Tanda :
perubahan mental, kelemaha
Nyeri
atau ketidaknyamanan
a.
Gejala : Nyeri
dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak berhubungan dengan aktifitas ),
tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri
dalam dan viseral).
b.
Lokasi : Tipikal
pada dada anterior, substernal , prekordial, dapat menyebar ke tangan, ranhang,
wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen,
punggung, leher.
c.
Kualitas :
“Crushing ”, menyempit, berat, menetap, tertekan.
d.
Intensitas :
Biasanya 10 (pada skala 1 -10), mungkin pengalaman nyeri paling buruk yang
pernah dialami. Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca
operasi, diabetes mellitus , hipertensi, lansia
Pernafasan
:
a.
Gejala : dispnea
saat aktivitas ataupun saat istirahat dispnea nokturnal, batuk dengan atau
tanpa produksi sputum, riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis.
b.
Tanda :
peningkatan frekuensi pernafasan nafas sesak / kuat, pucat, sianosis, bunyi
nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum
Interaksi
sosial
a.
Gejala : Stress,
Kesulitan koping dengan stressor yang ada misal : penyakit, perawatan di RS
b.
Tanda : Kesulitan istirahat dengan tenang,
Respon terlalu emosi (marah terus-menerus, takut), Menarik diri
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan
miokardium
2.
Resiko terhadap penurunan curah jantung berhubungan
dengan penurunan konstriksi fungsi ventrikel, degenerasi otot jantung.
3.
Resiko tinggi terhadap perubahan perfusi jaringan b.d
menurunya suplai oksegen ke otot.
4.
Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan
perfusi jaringan.
5.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan inflamasi dan
degenerasi sel-sel otot miokard, penurunan curah jantung.
6.
Kurang pengetahuan kondisi penyakit
INTERVENSI
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia
jaringan miokardium.
a.
Kriteria hasil: Mengidentifikasi metode yang dapat
menghilangkan nyeri,melaporkan nyeri hilang atau terkontrol.
b.
Intervensi :
Intervensi
|
Rasional
|
Kolaboratif
Berikan obat-obatan sesuai
indikasi:
1.
Agen non steroid, mis: indometasin(indocin);,
ASA(aspirin)
2.
Antipiretik mis: ASA/asetaminofen (tylenol)
3.
Steroid
4.
Oksigen 3-4 liter/menit
|
1.
Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respon
inflamasi.
2.
Untuk menurunkan demam dan meningkatkan kenyamanan.
3.
Diberikan untuk gejala yang lebih berat.
4.
Memaksimalkan ketersediaan oksigen untuk menurunkan
beban kerja jantung dan menurunkan ketidaknyamanan karena iskemia.
|
Mandiri
1.
Selidiki keluhan nyeri dada, memperhatikan awitan,
faktor pemberat atau penurun
|
1.
Mengetahui lokasi dan derajat nyeri. Pada iskemia
miokardium nyeri dapat memburuk dengan inspirasi dalam, gerakan atau
berbaring dan hilang dengan duduk tegak atau membungkuk.
2.
Memberikan lingkungan yang tenang dan tidakan
kenyamanan. Mislanya merubah posisi, menggunakan kompres hangat, dan
menggosok punggung
3.
Tindakan ini dapat meningkatkan kenyamanan fisik dan
emosional pasien.
|
Resiko terhadap penurunan curah
jantung berhubungan dengan penurunan konstriksi fungsi ventrikel, degenerasi
otot jantung.
a.
Kriteria hasil: Menurunkan episode dispnea, angina dan
disritmia. Mengidentifikassi perilaku untuk menurunkan beban kerja jantung.
b.
Intervensi :
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
1.
Pantau irama dan frekuensi jantung
2.
Auskultasi bunyi jantung. Perhatikan jarak / tonus
jantung, murmur, gallop S3 dan S4.
3.
Dorong tirah baring dalam posisi semi fowler
4.
Berikan tindakan kenyamanan misalnya perubahan posisi
dan gosokan punggung, dan aktivitas hiburan dalam toleransi jantung
5.
Dorong penggunaan teknik menejemen stress misalnya
latihan pernapasan dan bimbingan imajinasi
6.
Evaluasi keluhan lelah, dispnea, palpitasi, nyeri dada
kontinyu. Perhatikan adanya bunyi napas adventisius, demam
|
1.
Takikardia dan disritmia dapat terjadi saat jantung
berupaya untuk meningkatkan curahnya berespon terhadap demam. Hipoksia, dan
asidosis karena iskemia.
2.
Memberikan deteksi dini dari terjadinya komplikasi
misalnya GJK, tamponade jantung.
3.
Menurunkan beban kerja jantung, memaksimalkan curah
jantung
4.
Meningkatkan relaksasi dan mengarahkan kembali
perhatian
5.
Perilaku ini dapat mengontrol ansietas, meningkatkan
relaksasi dan menurunkan kerja jantung
6.
Manifestasi klinis dari GJK yang dapat menyertai
endokarditis atau miokarditis
|
Kolaboratif
1.
Berikan oksigen komplemen
2.
Berikan obat – obatan sesuai dengan indikasi misalnya
digitalis, diuretic
3.
Antibiotic/ anti microbial IV
4.
Bantu dalam periokardiosintesis darurat
5.
Siapkan pasien untuk pembedahan bila diindikasikan
|
1.
Meningkatkan keseterdian oksigen untuk fungsi miokard
dan menurunkan efek metabolism anaerob,yang terjadi sebagai akibat dari
hipoksia dan asidosis.
2.
Dapat diberikan untuk meningkatkan kontraktilitas
miokard dan menurunkan beban kerja jantung pada adanya GJK ( miocarditis)
3.
Diberikan untuk mengatasi pathogen yang
teridentifikasi, mencegah kerusakan jantung lebih lanjut.
4.
prosedur dapat dilakuan di tempat tidur untuk
menurunkan tekanan cairan di sekitar jantung.
5.
Penggantian katup mungkin diperlukan untuk memperbaiki
curah jantung
|
Resiko tinggi terhadap perubahan
perfusi jaringan b.d menurunya suplai oksegen ke otot.
a.
Kriteria hasil: mempertahankan atau mendemonstrasikan
perfusi jaringan adekuat secara individual misalnya mental normal, tanda vital
stabil, kulit hangat dan kering, nadi perifer`ada atau kuat, masukan/ haluaran
seimbang.
b.
Intervensi:
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
1.
Evaluasi status mental. Perhatikikan terjadinya
hemiparalisis, afasia, kejang, muntah, peningkatan TD.
2.
Selidiki nyeri dada, dispnea tiba-tiba yang disertai
dengan takipnea, nyeri pleuritik, sianosis, pucat
3.
Tingkatkan tirah baring dengan tepat
4.
Dorong latihan aktif/ bantu dengan rentang gerak
sesuai toleransi.
|
1.
Indicator yang menunjukkan embolisasi sistemik pada
otak.
2.
Emboli arteri, mempengaruhi jantung dan / atau organ
vital lain, dapat terjadi sebagai akibat dari penyakit katup, dan/ atau
disritmia kronis
3.
Dapat mencegah pembentukan atau migrasi emboli pada
pasien endokarditis. Tirah baring lama, membawa resikonya sendiri tentang
terjadinya fenomena tromboembolic.
4.
Meningkatkan sirkulasi perifer dan aliran balik vena
karenanya menurunkan resiko pembentukan thrombus.
|
Kolaborasi
Berikan antikoagulan, contoh
heparin, warfarin (coumadin)
|
Heparin dapat digunakan secara
profilaksis bila pasien memerlukan tirah baring lama, mengalami sepsis atau
GJK, dan/atau sebelum/sesudah bedah penggantian katup.
Catatan : Heparin kontraindikasi
pada perikarditis dan tamponade jantung. Coumadin adalah obat pilihan untuk
terapi setelah penggantian katup jangka panjang, atau adanya thrombus
perifer.
|
Ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan gangguan perfusi jaringan
a.
Kriteria Hasil: mempertahankan pola nafas efektif bebas
sianosis, dan tanda lain dari hipoksia.
b.
Intervensi:
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri:
1.
Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman. Contoh
adanya dispnea, penggunaan otot bantu nafas, pelebaran nasal.
2.
Lihat kulit dan membran mukosa untuk adanya sianosis.
3.
Tinggikan kepala tempat tidur letakkan pada posisi
duduk tinggi atau semifowler.
|
1.
Kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri,
takut, demam, penurunan volume sirkulasi, hipoksia atau diatensi gaster.
2.
Sianosis bibir, kuku, atau daun telinga menunjukkan
kondisi hipoksia atau komplikasi paru
3.
Merangsang fungsi pernafasan/ekspansi paru. Efektif
pada pencegahan dan perbaikan kongesti paru.
|
Kolaborasi:
Berikan tambahan oksigen dengan
kanul atau masker, sesuai indikasi
|
Meningkatkan pengiriman oksigen ke
paru untuk kebutuhan sirkulasi khususnya pada adanya gangguan ventilasi
|
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
inflamasi dan degenerasi sel-sel otot miokard, penurunan curah jantung
a.
Kriteria hasil: menunjukkan toleransi aktivitas,
menunjukkan pemahaman tentang pembatasan terapeutik yang diperlukan.
b.
Intervensi:
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
1.
Kaji respon pasien terhadap aktivitas. Perhatikan
adanya dan perubahan dalam keluhan kelemahan, keletihan, dan dispnea
berkenaan dengan aktivitas.
2.
Pantau frekuensi dan irama jantung, tekanan darah, dan
frekuensi pernapasan sebelum dan sesudah aktivitas dan selam di perluka
3.
Mempertahankan tirah baring selama periode demam dan
sesuai indikasi.
4.
Membantu klien dalam latihan progresif bertahap
sesegera mungkin untuk turun dari tempat tidur, mencatat respon tanda vital
dan toleransi pasien pada peningkatan aktivitas
5.
Evaluasi respon emosional
|
1.
Miokarditis menyebabkan inflamasi dan kemungkinan
kerusakan sel-sel miokardial, sebagai akibat GJK. Penurunan pengisian dan
curah jantung dapat menyebabkan pengumpulan cairan dalam kantung perikardial
bila ada perikarditis. Akhirnya endikarditis dapat terjadi dengan disfungsi
katup, secara negatif mempengaruhi curah jantung
2.
Membantu derajad dekompensasi jantung and pulmonal
penurunan TD, takikardia, disritmia, takipnea adalah indikasi intoleransi
jantung terhadap aktivitas.
3.
Demam meningkatkan kebutuhan dan konsumsi oksigen,
karenanya meningkatkan beban kerja jantung, dan menurunkan toleransi
aktivitas
4.
Pada saat terjadi inflamasi klien mungkin dapat
melakukan aktivitas yang diinginkan, kecuali kerusakan miokard permanen.
5.
Ansietas akan terjadi karena proses inflamasi dan
nyeri yang di timbulkan. Dikungan diperlukan untuk mengatasi frustasi
terhadap hospitalisasi.
|
Kolaborasi
Berikan oksigen suplemen
|
Peningkatan ketersediaan oksigen
mengimbangi peningkatan konsumsi oksigen yang terjadi dengan aktivitas.
|
Kurang pengetahuan kondisi penyakit
a.
Kriteria hasil : menyatakan pemahaman tentang proses
inflamasi, kebutuhan pengobatan dan kemungkinan komplikasi.
b.
Intervensi
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
1.
Jelaskan efek inflamasi pada jantung, ajarkan untuk
memperhatikan gejala sehubungan dengan komplikasi/berulangnya dan gejala yang
dilaporkan dengan segera pada pemberi perawatan misalny demam, nyeri,
peningkatan berat badan, peningkatan toleransi terhadap aktifitas.
2.
Anjurkan pasien/orang terdekat tentang dosis, tujuan
dan efek samping obat: kebutuhan diet/pertimbangan khusus: aktivitas yang
diizinkan/dibatasi
3.
Kaji ulang perlunya antibiotic jangka panjang/terapi
antimicrobial
4.
Tekankan pentingnya evaluasi perawatan medis teratur.
Anjurkan pasien membuat perjanjian.
|
1.
Untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan sendiri,
pasien perlu memahami penyebab khusus, pengobatan, dan efek jangka panjang
yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai dengan tanda/gejala yang
menunjukkan kekambuhan/komplikasi
2.
Untuk bertanggung jawab terhadap kesehatan sendiri,
pasien perlu memahami penyebab khusus, pengobatan, dan efek jangka panjang
yang diharapkan dari kondisi inflamasi, sesuai dengan tanda/gejala yang
menunjukkan kekambuhan/komplikasi
3.
Perawatan di rumah sakit lama/pemberian antibiotic
IV/antimicrobial perlu sampai kultur darah negative/hasil darah lain
menunjukkan tak ada infeksi.
4.
Pemahaman alasan untuk pengawasan medis dan
rencana untuk/penerimaan tanggung jawab
|
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit
Kardiovaskular. Jakarta
KLIK DOWNLOAD DIBAWAH INI UNTUK MENDAPATKAN
FILE LENGKAP DALAM FORMAT WORD (DOC)
0 Comments for "LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN INFARK MIOKARD AKUT (IMA) DENGAN ELEVASI ST"